
DIGITAL

DPR Sahkan RUU Perlindungan Data Pribadi: Pengawasan Ketat
DPR Sahkan RUU Perlindungan Data Pribadi: Pengawasan Ketat

DPR Sahkan setelah melalui pembahasan yang memakan waktu lebih dari dua tahun, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang di gelar pada akhir April 2025. Pengesahan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perlindungan hak digital masyarakat Indonesia.
RUU ini sempat tertunda pembahasannya karena berbagai perbedaan pandangan antara pemerintah dan legislatif, khususnya terkait lembaga pengawas independen dan batasan kewenangan pemerintah dalam mengakses data. Setelah serangkaian revisi dan uji publik, akhirnya tercapai kesepakatan final yang melibatkan perwakilan masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku industri teknologi.
“Hari ini kita membuktikan bahwa negara hadir untuk melindungi privasi warganya di era digital. Ini bukan sekadar hukum, ini adalah komitmen konstitusional terhadap hak asasi manusia,” ujar Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam sambutannya.
RUU PDP memuat 76 pasal yang mengatur tentang hak subjek data, kewajiban pengendali data, mekanisme pengaduan, serta sanksi administratif dan pidana bagi pelanggaran. Undang-undang ini juga menetapkan pembentukan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP), lembaga independen yang bertugas mengawasi dan menegakkan regulasi.
Selama proses legislasi, publik memberikan perhatian besar, terutama pasca beberapa insiden kebocoran data besar-besaran yang terjadi dalam dua tahun terakhir, termasuk pada layanan e-commerce, perbankan digital, dan platform pemerintah. Tekanan dari masyarakat untuk mempercepat pengesahan semakin menguat ketika laporan kebocoran data KTP, BPJS, dan paspor sempat mengemuka dan menimbulkan keresahan.
DPR Sahkan undang-undang ini akan mulai di berlakukan secara penuh setelah masa transisi 24 bulan. Selama periode tersebut, semua entitas publik dan privat di beri waktu untuk melakukan penyesuaian sistem dan kebijakan internal mereka.
Otoritas Perlindungan Data Pribadi: Struktur Dan Kewenangan
Otoritas Perlindungan Data Pribadi: Struktur Dan Kewenangan, lembaga yang di rancang independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. OPDP akan memiliki kewenangan besar dalam melakukan investigasi, memberi sanksi administratif, hingga merekomendasikan proses hukum terhadap pelanggaran data pribadi.
Menurut pasal 55 hingga 62 dalam undang-undang tersebut, OPDP akan di pimpin oleh seorang Kepala Otoritas yang diangkat Presiden melalui seleksi publik. Lembaga ini juga akan terdiri dari direktorat-direktorat teknis seperti Direktorat Pengawasan, Direktorat Penanganan Sengketa, dan Direktorat Edukasi & Literasi Digital.
OPDP akan memiliki hak melakukan audit sistem informasi pada instansi pemerintah maupun swasta yang mengelola data warga negara. Dalam hal pelanggaran berat, OPDP dapat memberikan rekomendasi denda hingga Rp100 miliar dan/atau mencabut izin operasional layanan digital.
“Kami ingin memastikan bahwa pengendali data tidak hanya patuh secara administratif, tetapi juga menjunjung tinggi etika dalam penggunaan data,” ujar Rika Dwi Aryani, staf ahli bidang perlindungan konsumen yang turut menyusun draf akhir UU ini.
Selain fungsi pengawasan dan penindakan, OPDP juga bertugas menyusun pedoman teknis perlindungan data, menyelenggarakan kampanye publik, dan menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah di akses oleh masyarakat. Sistem pelaporan akan menggunakan platform digital berbasis blockchain untuk menjamin integritas dan transparansi.
Pendanaan OPDP akan berasal dari anggaran negara dan tidak diperbolehkan menerima dana dari pihak swasta, guna menjaga independensi. Beberapa pengamat menyebut bahwa pembentukan OPDP yang kuat dan netral akan menjadi ujian penting dari efektivitas undang-undang ini.
Otoritas serupa di luar negeri, seperti Data Protection Authority di Uni Eropa atau Information Commissioner’s Office di Inggris, sering di jadikan model, dan Indonesia kini bergabung dalam barisan negara-negara yang memiliki perangkat hukum digital yang modern dan komprehensif.
Tanggung Jawab Pengendali Data Setelah DPR Sahkan : Standar Baru Dalam Tata Kelola
Tanggung Jawab Pengendali Data Setelah DPR Sahkan : Standar Baru Dalam Tata Kelola undang-undang ini menegaskan bahwa setiap pengendali data wajib memiliki dasar hukum yang sah untuk memproses data pribadi. Ini termasuk kewajiban memperoleh persetujuan eksplisit dari pemilik data, menyimpan data dengan aman, dan memberikan akses kepada pemilik data untuk memperbaiki atau menghapus informasi mereka.
Bagi perusahaan digital, ini berarti keharusan melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh sistem, prosedur, dan teknologi yang di gunakan. Mereka di wajibkan menunjuk Data Protection Officer (DPO) yang bertanggung jawab atas kepatuhan internal terhadap ketentuan perlindungan data.
Perusahaan yang melanggar dapat di kenakan sanksi berlapis, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, pembekuan layanan, hingga proses pidana bagi pelanggaran berat. Ketentuan ini menjadi perhatian utama kalangan startup dan perusahaan teknologi yang sebelumnya belum memiliki kebijakan khusus soal data privasi.
Pemerintah menyediakan waktu transisi dua tahun agar pelaku usaha dapat beradaptasi. Namun demikian, banyak pelaku industri merasa waktu tersebut cukup menantang, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang terbatas dalam hal anggaran dan SDM teknologi.
“Kami mendukung prinsip perlindungan data, tapi perlu ada dukungan konkret dari pemerintah dalam bentuk pelatihan, insentif, dan panduan teknis yang jelas,” ujar Bayu Ananta, Ketua Asosiasi Startup Digital Indonesia.
Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab terhadap kebocoran data. Dalam kasus insiden, pengendali data di wajibkan melapor maksimal 72 jam setelah kejadian, lengkap dengan rincian penyebab, dampak, dan langkah mitigasi. Kegagalan untuk melaporkan dapat di kenakan denda tambahan.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat soal pentingnya privasi digital, banyak konsumen kini mulai lebih selektif dalam memberikan data kepada layanan daring. Hal ini memaksa pelaku usaha untuk membangun ulang kepercayaan konsumen melalui transparansi dan keamanan yang lebih tinggi.
Edukasi Publik Dan Tantangan Penegakan Hukum
Edukasi Publik Dan Tantangan Penegakan Hukum sangat tergantung pada tingkat literasi digital masyarakat. Banyak pengguna internet di Indonesia belum memahami sepenuhnya apa itu data pribadi. Bagaimana data mereka digunakan, dan hak-hak mereka sebagai pemilik data. Oleh karena itu, edukasi publik menjadi pilar utama keberhasilan undang-undang ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menyusun rencana nasional literasi data pribadi yang akan di luncurkan pada pertengahan 2025. Program ini mencakup kampanye di media sosial, kurikulum sekolah, pelatihan daring, hingga kerja sama dengan influencer dan komunitas digital.
Namun tantangan besar tetap ada dalam penegakan hukum. Pengawasan terhadap jutaan entitas digital yang beroperasi di Indonesia, termasuk yang berasal dari luar negeri. Memerlukan kapasitas teknologi dan SDM yang besar. Banyak ahli mengingatkan bahwa OPDP tidak boleh hanya menjadi lembaga simbolik.
“Kita butuh lembaga yang punya gigi, bukan sekadar seremonial. Pelanggar harus benar-benar di tindak, baik itu institusi lokal maupun asing,” ujar Sinta Marbun, pengamat hukum digital dari UI.
Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat kerja sama internasional, karena banyak entitas pengelola data berada di luar yurisdiksi nasional. Tanpa kerangka kerja sama lintas negara, penindakan terhadap perusahaan asing yang menyalahgunakan data warga Indonesia akan sulit di lakukan.
Beberapa kalangan juga mendorong agar pengadilan membentuk unit khusus perkara perlindungan data untuk mempercepat proses hukum. Dengan begitu, kasus pelanggaran dapat di selesaikan secara efisien dan memberi efek jera bagi pelaku.
Secara keseluruhan, pengesahan UU PDP merupakan langkah maju yang berani dan mendesak. Dengan pengawasan ketat dan partisipasi semua pihak, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun. Ekosistem digital yang aman, beretika, dan berkeadilan dari DPR Sahkan.